Selasa, 14 Juni 2011

TERORISME

TERORISME
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerjasama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrasructure). PBB telah mengeluarkan beberapa konvensi dan resolusi untuk melawan terorisme. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi berbagai konvensi tersebut dan sudah tentu harus melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dalam perang melawan terorisme. Dengan peristiwa 11 September 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan secara global.
Aksi terjadinya teror bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu No. 1/2002, Perpu No. 2/2002 dan Inpres No. 4/2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Hampir semua negara telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya. Dengan tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas, dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi dan upaya secara komperhensif dengan pendekatan multi-agency, multi-internasional dan multi-nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme.
Definisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen terkait juga dikarenakan semua pihak berkepentingan melihat atau menerjemahkan permasalahan (term of terrorism) dari sudut pandang kepentingan masing-masing.
Dari sebuah forum curah pendapat (brain-storming) antara para akademisi, profesional, pakar pengamat politik dan diplomat terkemuka yang diadakan di kantor Menko Polkam tanggal 15 September 2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan mereka mengenai terorisme, yaitu sebagai berikut :
1. Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ektrimis, sparatis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka, melalui saluran resmi atau jalur hukum. Dari pandangan mereka dapat dikemukakan juga bahwa tindakan kekerasan (terrorism) tersebut diartikan secara cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah untuk melawan kelompok yang kuat atau suatu cara bagi kelompok tertentu untuk mencapai tujuan dan selanjutnya dapat diartikan sebagai berikut :
a. Cara kelompok miskin untuk meminta perhatian kelompok si kaya.
b. Cara kelompok yang dimarjinalkan terhadap kelompok yang diuntungkan.
c. Cara kelompok yang tertekan terhadap kelompok yang arogan.
d. Cara kelompok yang dimusuhi, diblokade, diembargo, diperlukan tidak adil dan sebagainya. Mengacu pada Perpu Nomor 1 tahun 2003, yang dimaksud dengan: Tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.

Karakteristik Psikologis dan Sasaran Terorisme
 Berdasarkan hasil studi dan pengalaman empriris dalam menangani terorisme yang dilakukan oleh PBB dapat disimpulkan beberapa karakteristik psikologis dari pelaku-pelaku terorisme sebagai berikut :
1. Bahwa para terorisme umumnya mempunyai persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara nyata atau khayalan. Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut harus diubah.
2. Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh. Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan yang penting tujuan tercapai.
3. Pilihan tindakan pada hakekatnya berkaitan dengan idiologi yang dianut dan tujuan yang oleh pelaku dirasakan sebagai kewajiban.
4. Oleh karena itu konsep deteren konvensional tidak efektif lagi dalam upaya pemberantasan terorisme.
5. Tanpa upaya resosialisasi dan reintegrasi kedalam masyarakat, mereka akan lebih radikal dan para pengagum akan berbuat kekerasan lebih lanjut dan menjadikan mereka sebagai pahlawan (dan korban sekaligus).
 Sasaran Terorisme Pada umumnya sasaran teroris baik manusia maupun obyek lain dipilih secara random bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau dipilih secara seksama untuk menghindari reaksi negatif publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. Sasaran strategis teroris adalah sebagai berikut :
1. Menunjukan kelemahan alat-alat kekuasaan (aparatur pemerintah).
2. Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat.
3. Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris.
4. Menggunakan media massa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris.
 Sacara spesifik sasaran teroris meliputi :
1. Militer. Senjata yang sensitif, lembaga pendidikan, senjata, amunisi, fasilitas komando dan pengendalian, fasilitas logistik, fasilitas komputer, bahan peledak, fasilitas rekreasi, sekolah dan bus sekolah.
2. Bangunan dan sistem energi. Pembangkit tenaga listrik, kilang minyak lepas pantai, fasilitas nuklir, pipa gas, bendungan dan jaringan listrik.
3. Sarana komunikasi dan dukungan. Fasilitas dan jaringan komunikasi, tempat penimbunan bahan kimia, fasilitas dok, gudang peralatan, fasilitas komputer, tempat penyimpanan senjata khusus dan konvensional.
4. Sarana transportasi. Jaringan kereta api dan jalan raya, dipo kendaraan, lapangan terbang dan pesawat terbang, fasilitas angkutan truk dan galangan kapal laut.
5. Manusia. Personil kedutaan besar, pegawai pemerintah, pelaku bisnis, personil polisi dan personil anggota angkatan perang.



Dampak Terorisme
Dampak Terorisme Sebagai akibat dari teroris memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata (termasuk potensi Nubika) dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik.
1. Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain :
a. Gangguan terhadap kehidupan demokrasi;
b. Hukum dan tata tertib terganggu;
c. Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar;
d. Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power;
e. Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh.
2. Bidang ekonomi, antara lain :
a. Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa, harga saham jatuh;
b. Investasi/penanaman modal menurun drastis;
c. Kehancuran sarana prasarana ekonomi;
d. Timbul pengangguran dalam jumlah besar.
3. Bidang psikologi, antara lain:
a. Timbul rasa takut dalam masyarakat;
b. Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar.
4. Bidang sosial, antara lain:
a. Law and order dalam masyarakat terganggu;
b. Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat;
c. Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma dalam masyarakat.
5. Bidang keamanan, diantaranya:
a. Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu;
b. Ruang gerak anggota masyarakat terganggu.
6. Bidang hubungan internasional, yaitu:
a. Hubungan antar negara bisa terganggu.

Hambatan dalam Pemberantasan Terorisme
1. Adanya mispersepsi dan tudingan bahwa perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam;
2. Adanya kesan bahwa negara maju menerapkan standar ganda dalam menghadapi terorisme. Pandangan ini merujuk pada sikap negara maju dalam penanganan konflik berlarut-larut di Timur Tengah. Persepsi terhadap kondisi ini sekaligus merupakan motif paling signifikan bagi maraknya aksi teror yang berbasis pada fundamentalis garis keras serta kelompok-kelompok radikal militan di berbagai negara.
3. Adanya kesan yang cukup kuat bahwa langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Dan oleh karenanya setiap hasil investigasi hanya sekedar upaya pembenaran skenario asing dan proses peradilannyapun dipaksakan menuruti ketentuan hukum yang telah didesain untuk melindungi kepentingan negara maju.
4. Adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahanakan kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak azasi manusia, serta membungkam hak-hak sipil, hak-hak politik masyarakat dan memasung kreatifitas serta menimbulkan keengganaan masyarakat untuk berpartisaipasi dalam proses politik.

Kebijakan Dasar dalam Pemberantasan Terorisme
1. Perang melawan teror ialah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
2. Bahwa kebijakan dan langkah pemerintah untuk menyusun undang-undang tentang pemberantasan terorisme bukan karena tekanan negara-negara maju.
3. Langkah-langkah pemberantasan terorisme tidak melanggar HAM tapi justru untuk melindungi HAM. Adanya Undang-undang Pemberantasan Terorisme untuk memberikan kepastian hukum dan memberi batas-batas yang jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tidakan yang tidak boleh dilakukan oleh aparat.
4. Bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak diskriminatif. Undang-undang terorisme tidak ditujukan pada suatu kelompok manapun. Siapapun yang melakukan perbuatan teror akan diperlakukan sama sesuai perbuatannya dan tanpa melihat latar belakang etnis maupun agamanya.
5. Bahwa undang-undang terorisme didasarkan pada 3 paradigma, yaitu : a. Melindungi bangsa dan kedaulatan NKRI; b. Melindungi hak azasi korban dan saksi-saksi; c. Melindungi hak azasi pelaku terorisme.
6. Bahwa kerjasama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan karena gerakan terorisme mempunyai jaringan global dan hal ini merupakan perwujudan upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu “turut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi”.
7. Bahwa terorisme internasional ataupun terorisme lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional merupakan ancaman bagi kemanusiaan dan sangat membahayakan ketertiban dan kemanan dunia termasuk bangsa dan negara RI.
8. Bahwa untuk mencegah dan mendorong agar tidak timbul korban-korban masal yang tidak berdosa akibat tindakan terorisme, maka diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan jika menemukan kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan-tindakan terorisme.
9. Bahwa dalam perang melawan terorisme, perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemptif maupun rehabilitasi. Pengalaman berbagai negara menerapkan konsep yang hanya mengutamakan tindakan represif dengan kekuatan bersenjata ataupun dengan penegakan hukum secara tegas, bagaimanapun tidak akan efektif menghentikan terorisme.

Selain langkah represif dan preventif kita harus bisa menyentuh akar terorisme (roots of terrorism) melalui langkah-langkah rasionalisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat. Strategi Pemberantasan Terorisme Aksi teror bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius, ini terbukti dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002, disusul dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003 dan Undang-Undang Nomor 16/2003.
Berkaitan dengan teror bom Bali, hampir semua negara memberikan perhatian dan dukungan kongkrit terhadap upaya Indonesia dalam pengungkapan kasus bom Bali, terutama dalam proses investigasi untuk menangkap para pelaku teror dan mengajukan mereka ke sidang pengadilan. Dengan tertangkapnya para pelaku teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komperhensif dengan pendekatan lintas sektoral dan lintas negara. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme. Misi nasional dalam pemberantasan terorisme adalah menghentikan aksi teroris yang mengancam kehidupan bangsa, warga negara dan kepentingan nasional serta menciptakan lingkungan internasional yang menyuburkan terorisme.
Untuk memenuhi misi ini harus dilaksanakan upaya-upaya strategis sebagai berikut :
1. Mengalahkan teroris dan organisasinya dengan menghancurkan persembunyiannya, kepemimpinan, komando, kontrol, komunikasi, dukungan materiil dan keuangan. Kita harus bekerja sama dan mengembangkan kemitraan baik luar negeri maupun dalam negeri untuk mengisolasi teroris. Mendorong instansi terkait lainnya serta mengembangkan mekanisme penanganan aksi teror dalam suatu sistem keterpaduan dan koordinasi yang efektif.
2. Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris dan tempat tumbuh suburnya ideologi terorisme.
3. Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat di eksploitasi menjadi alasan pembenaran aksi teroris seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan SARA. 4. Melindungi bangsa, warga negara dan kepentingan nasional. Kemenangan perang melawan terorisme dapat dicapai melalui upaya yang berkelanjutan menekan ruang lingkup dan kapabilitas organisasi teroris, mengisolasi teroris serta menghancurkannya. Kemenangan hanya dapat dicapai selama pemerintah dan rakyat memelihara kesiap-siagaan dan bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencegah teroris melakukan tindakan yang akan membawa bencana.

Tujuan Dan Sasaran
1. Tujuan pertama. Mengalahkan teroris dan organisasinya. Mengalahkan organisasi teroris dan mencegah pencapaian tujuan global mereka dengan menggunakan upaya diplomatik, ekonomi, informasi, penegakan, hukum, militer, finansial, intelijen dan instrumen lain. Evolusi organisasi teroris menjadi kelompok-kelompok kecil dan bersifat informal merupakan tantangan dalam perang melawan terorisme. Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa serta dengan kerja sama internasional akan menjadikan para teroris baik individu, kelompok pendukung maupun jaringannya sebagai target dalam pemberantasan terorisme. Cara terbaik adalah mengisolasi dan lokalisasi aktivitas teroris dan kemudian menghancurkannya. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mereduksi ruang lingkup dan kapasitasnya. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi teroris, melokalisir tempat persembunyiannya dan menghancurkan merencanakan dan organisasinya. Kita tidak bisa menunggu sampai terjadi serangan teroris baru merespon.
Sasaran:
a. Identifikasi teroris dan organisasi teroris
b. Melokalisasi teroris dan organisasinya.
c. Menghancurkan teroris dan organisasinya
d. Membawa para pelaku teroris ke pengadilan
2. Tujuan kedua. Meningkatkan kesiap-siagaan dan kewaspadaan terhadap terorisme. Ditujukan untuk menghilangkan atau mengiliminir peluang bagi kelompok teroris untuk mendapat akses ke wilayah Indonesia sebagai tempat persembunyian, tempat beroperasi, tempat latihan dan tempat merencanakan dan mempersiapkan serangan terorisme, atau tempat pengumpulan serta pengembangan dana bagi kegiatan terorisme.
Sasaran:
a. Membangun kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen bersama dalam perang melawan terorisme.
b. Pengawasan dan pengaturan kegiatan dari kelompok-kelompok masyarakat yang mengarah pada konflik SARA.
c. Memperkuat dan mempertahankan kerja sama internasional dalam perang melawan terorisme.
d. Melakukan interdiksi terhadap lalu lintas para teroris melalui pintu-pintu keluar masuk di darat, laut dan udara serta interdiksi terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan dan senjata pemusnah masal.
e. Memutus hubungan para teroris dengan sindikat kriminal seperti narkotika, pengiriman tenaga kerja ilegal, penyelundupan senjata api dan bahan peledak, imigran gelap, dan sebagainya.
f. Mengembangkan prosedur dan mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat berlindung para teroris.
3. Tujuan ketiga. Meredam faktor-faktor korelatif yang dapat dieksploitasi sebagai alasan pembenaran tindakan terorisme dan meredam kondisi-kondisi yang dapat dieksploitasi para teroris. Walaupun diakui di beberapa negara rakyatnya hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan, konflik politik dan konflik regional, namun kondisi tersebut tidak boleh dijadikan pembenaran.
Sasaran:
a. Berusaha memecahkan pertentangan-pertentangan regional, penguatan/peningkatan kehidupan di bidang ekonomi, sosial dan politik, pemerintah yang baik dan penegakan hukum dalam rangka mengatasi kondisi-kondisi yang sering dimanfaatkan oleh para teroris.
b. Melakukan upaya memenangkan perang melawan ideologi terorisme yang mengeksplotir nilai ekstrim keagamaan sebagai alat pembenaran aksi teroris.
c. Melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam kebijakan politik untuk mengakomodir aspirasi kelompok fundamentalis garis keras dan menyalurkan secara demokratis dalam organisasi politk secara formal.
d. Membangun jaringan kerja bersifat kemitraan dengan segenap instansi pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah serta dengan komponen masyarakat non-pemerintah.
4. Tujuan keempat. Mengarahkan upaya kolektif nasional untuk mempertahankan kedaulatan, teritorial dan kepentingan nasional. Upaya ini meliputi perlindungan fisik kepada masayarakat, harta benda dan kepentingan nasional, sejalan dengan penegakkan prinsip demokrasi. Dengan meningkatkan dan mengkoordinasikan sistem peringatan dini, kita dapat mendeteksi rencana-rencana para teroris. Melalui penegakkan hukum dan kegiatan intelejen yang terus menerus serta pemburuan terhadap teroris oleh aparat kemanan, kita dapat menghancurkan kemampuan mereka dalam melakukan serangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Melalui peningkatan kesiagaan secara fisik, kita dapat mengurangi kelemahan personil, infrastruktur dan kepentingan-kepentingan lain. Respon terhadap misi yang kompleks ini memerlukan suatu upaya terkoordinasi dan fokus dari segenap komponen bangsa di tingkat nasional dan daerah.
Sasaran:
a. Meningkatkan pengamanan fisik pada obyek-obyek vital dengan memobilitasi dan mengorganisasikan upaya pengamanan swakarsa dari masing-masing obyek vital. Intelijen harus memberikan peringatan dini kepada obyek-obyek vital tentang adanya ancaman terorisme.
b. Mengembangkan suatu Pusat Informasi Intelijen Terpadu tentang ancaman terorisme berdasarkan Inpres Nomor 5/2002, dimana Badan Intelejen Nasional (BIN) sebagai koordinator dari semua kegiatan intelejen.
c. Meningkatkan pengamanan di pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti pusat-pusat bisnis, pusat-pusat hiburan, pemukiman dan sebagainya.
d. Meningkatkan pengamanan pada kepentingan-kepentingan internasional, perwakilan asing, kantor-kantor organisasi internasional serta fasilitas-fasilitas internasional lainnya.
e. Meningkatkan kemampuan penanganan kasus penyanderaan dan pembajakan. Memperluas pelaksanaan kerja sama di bidang interdiksi, investigasi, penuntutan dan ekstradisi.
f. Menjamin berlakunya suatu kapabilitas menajemen terpadu dalam penanggulangan aksi terorisme.

Kebijakan Pemberantasan Terorisme
1. Kebijakan Internasional. Dalam perang melawan terorisme diperlukan upaya komprehensif secara lintas instansi dan lintas negara. PBB melalui United Nations Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komperhensif, yaitu sebagai berikut :
a. Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance)
b. Aspek ekonomi dan sosial (economic and social)
c. Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology, communication, education).
d. Peradilan dan hukum (judical and law)
e. Aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and prison system)
f. Aspek intelejen (intelligence)
g. Aspek militer (military)
h. Aspek imigrasi (immigration)
2. Kebijakan di berbagai negara. Pemerintah AS, Inggris, Australia dan Jepang serta sejumlah negara lain menganggap semua terorisme sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasionalnya seperti halnya dengan tindakan kriminal. AS dan Australia misalnya bertekad untuk menggunakan semua daya guna mencegah, menghambat, mengalahkan serta membahas semua serangan teroris, baik di dalam negeri, di perairan internasional maupun di negara asing.
3. Kebijakan Pemerintah Inggris.
4. Implementasi Strategi. Strategi pemberantasan terorisme diimplementasikan melalui upaya represif, preventif, preemptif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung.
a. Upaya Represif.
1. Peradilan dan perundang-undangan :
- Pembentukan undang-undang yang khusus ditujukan untuk pemberantasan terorisme.
- Pertukaran informasi dengan negara-negara lain.
- Meratifikasi konvensi-konvensi internasional dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan upaya melawan terorisme.
- Memperluas perjanjian ektradisi dengan negara lain.
- Merevisi undang-undang dan ketentuan yang kontra-produktif dalam pemberantasan terorisme.
- Penyetaraan ancaman hukuman terhadap pelaku teror sesuai ancaman hukuman yang berlaku di berbagai negara dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.
- Pemberian perlindungan saksi.
- Mempercepat proses peradilan.
- Penerapan peradilan khusus.
- Penerapan pengadilan in absentia.
2. Investigasi :
- Melakukan oleh TKP secara profesional.
- Melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuai ketentuan hukum dengan menghindari pelanggaran HAM serta penyimpangan lainnya.
- Kerja sama internasional dalam penyidikan termasuk kerja sama penggunaan teknologi mutakhir dalam penyidikan.
- Kerja sama internasional di bidang teknis seperti laboratorium, cyber forensic, communication forensic, surveillance, indentifikasi dan dukungan teknis lainnya.
- Pelatihan penyelidik di bidang investigasi pasca pengeboman.
- Memperbanyak dan mengintensifkan informan.
- Latihan simulasi satuan-satuan anti teror TNI dan Polri dalam penanganan terorisme.
- Mengungkap jaringan teroris secara tuntas.
- Pembebasan sandra.
- Pembekuan aset organisasi teroris dan kelompok yang berkaitan dengan terorisme.
- Pelaksanaan undang-undang pencucian uang secara konsisten.
- Penelusuran aliran dana jaringan teroris dengan menyampaikan kerahasiaan bank.
3. Intielijen :
- Penggunaan teknologi mutakhir untuk melakukan surveillance dan intersepsi.
- Penyusupan ke dalam organisasi teroris.
- Pengembangan sistem deteksi dini.
- Pertukaran informasi intelijen dengan negara lain.
- Pembangunan database terorisme.
- Deteksi dini terhadap provokasi ke arah permusuhan bernuansa SARA dan kebencian terhadap kelompok agama atau negara tertentu.
4. Militer :
- Serangan ke markas teroris untuk penangkapan.
- Pembebasan sandra.
- Pengamanan VIP dan instalasi vital.
- Penyiapan pasukan khusus anti teroris.
b. Upaya Preventif.
1. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api.
2. Peningkatan pengamanan terhadap sistem transportasi.
3. Peningkatan pengamanan sarana publik.
4. Peningkatan pengamanan terhadap sistem komunikasi.
5. Peningkatan pengaman terhadap VIP.
6. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatik dan kepentingan asing.
7. Peningkatan kesiap-siagaan menghadapi serangan teroris.
8. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional.
9. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.
10. Pengetatan pengawasan perbatasan pintu-pintu keluar-masuk.
11. Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan sebagainya).
12. Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga.
13. Penertiban pengeluaran KTP dan administrasi kependudukan.
14. Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror.
15. Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa.
16. Kampanye anti teroris melalui media massa, yaitu meliputi :
- Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris.
- Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teroris.
- Penggunaan public figures terkenal untuk mengutuk aksi teroris.
- Pemanfaatan eks pelaku teroris yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.
- Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan.
- Pemanfaatan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme.
17. Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme.
18. Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.
19. Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.
c. Upaya Preemptif
1. Pencerahan ajaran agama oleh tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir dan radikalisme pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis keras.
2. Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai berikut :
- Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok radikal.
- Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah pada tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog, negosiasi dan sebagainya.
- Penawan konsesi politik bagi kelompok-kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi gerakan formal secara konstitusional.
3. Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan/LSM yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan idiologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.
4. Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
- Pengentasan kemiskinan.
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
- Penciptaan lapangan kerja.
- Pengembangan ketenaga-kerjaan.
- Pengendalian kurikulum pendidikan terutama di bidang keagamaan untuk mencegah disusupkannya ideologi-idiologi ekstrim-radikal dalam proses pendidikan.



d. Upaya Resosialisasi dan Rehabilitasi.
1. Reedukasi terhadap para pelaku teroris yang telah mengalami “cuci otak” dengan ideologi ekstrim/radikal sehingga eks-pelaku dapat diresosialisasikan dan direintegrasikan ke dalam cara-cara berfikir normal kehidupan kemasyarakatan.
2. Perbaikan sarana prasarana serta fasilitas publik yang rusak
3. Normalisasi pelayanan publik dan kegiatan masyarakat.
e. Pengembangan infrastruktur pendukung.
1. Dukungan melalui bantuan internasaional untuk pengadaan peralatan dan teknologi canggih untuk melawan terorisme bagi Polri, Intelijen, TNI dan fasilitas koordinasi (Desk KPT).
2. Peningkatan kualitas SDM satuan-satuan pelaksana lapangan (Pain, TNI, Intelijen serta instansi terkait lainnya).
3. Peningkatan kualitas SDM di jajaran penegak hukum (penyidik, jaksa, hakim) dalam proses peradilan terorisme agar setara dengan negara-negara lain.
4. Pembangunan kapasitas organisasi lembaga koordinasi agar efektif dalam mengantisipasi perkembangan ancaman terorisme yang diperkirakan akan terus berlanjut.
5. Penetapan kelembagaan secara permanen dengan besaran organisasi sesuai skala perkembangan kegiatan pemberantasan terorisme dengan personil yang permanen pula.
6. Pengembangan jaringan kerja melalui kemitraan, dengan instansi pemerintah dan lembaga non-pemerintah terkait dalam upaya pemberatasan terorisme.
7. Pengembangan kemitraan untuk kajian dan sosialisasi terorisme dengan lembaga akademik independen dan netral.
8. Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan partisipasi dalam memenangkan perang melawan ideologi terorisme.

Tuntutan Kemampuan Menghadapi (Krisis-Akibat) Terrorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam implementasi strategi serta besar, luas dan kompleksnya dampak terorisme, maka untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1. Pemerintah, memiliki kemampuan antara lain :
a. Mampu membuat kebijakan politik dan ekonomi yang baik
b. Mampu bertindak tegas dan tepat.
c. Mampu membuat program sosial ekonomi yang populer.
d. Mampu bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi/badan dalam negeri dan bekerja sama antar negara.
2. Organisasi Antiteror, memiliki kemampuan antara lain
a. Mampu melaksanakan kebijakan nasional antiteror yang digariskan pemerintah.
b. Menguasai pengetahuan tentang terorisme.
c. Mampu bekerja sama dengan badan/lembaga lain dalam dan luar negeri.
d. Mampu memberi arahan kepada satuan pelaksana.
e. Mampu memberi saran ke satuan atas.
f. Menguasai masalah hukum, intelijen dan teknologi.
3. Satuan Antiterror, memiliki kemampuan antara lain :
a. Mampu melaksanakan tugas yang diberikan.
b. Menguasai dan mampu menerapkan taktik dan teknis antiteror.
c. Mampu bekerja sama dan berkoordinasi baik dengan satuan dan instansi lain.
d. Memiliki jiwa dan semangat satuan yang solid.
e. Menguasai masalah hukum, intelijen dan teknologi.
4. Personil satuan antiteror, menguasai kemampuan antara lain :
a. Menguasai masalah hukum dan HAM dengan baik
b. Menguasai kemampuan perorangan antiteror.
c. Menguasai kemampuan intelijen.
d. Menguasai teknologi dan persenjataan, serta bahan peledak yang mutakhir.
e. Menguasai kemampuan komunikasi massa.
f. Menghormati hak-hak sipil dan politik serta hak asasi manusia lainnya.
g. Menguasai budaya dan adat istiadat setempat.

Metoda dan Teknik Mengatasi Terorisme
1. Kelompok teroris dalam upaya mencapai tujuannya melaksanakan taktik bombing, arson, hijacking, assassination, ambush, kidnapping, hostage taking and robberies/expropriations. Kegiatan teroris tidak semua dilakukan oleh hard-core political terrorist (crusaders), banyak juga yang dilakukan oleh criminal (seeking personal tather than political gain) atau oleh crazies (individual who are mentally ill).
2. Strategi, kebijakan, taktik, metoda, pendekatan dan taktik mengatasi terorisme yang diterapkan berbeda dari satu negara dibanding negara lainnya, mengingat adanya perbedaan bentuk (variants) atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh perbedaan motif, seperti: kelompok sparatis, anarchists, dissidents, nationalists, marxist revolutionaries or religius true beliviers. Disamping itu, perbedaan penanganan teroris disebabkan juga karena adanya perbedaan kondisi daerah, budaya/adat istiadat, hukum dan sumber daya serta kemampuan lembaga/satuan anti teror yang tersedia.
3. Beberapa negara menganut program antiterorisme yang mengaplikasikan 4 metoda dasar, yaitu :
a. Prevention. Menggunakan inisiatif internasional dan diplomasi untuk membujuk negara pendukung terorisme, dan membuat konsensus bahwa kegiatan teroris bertentangan dengan hukum internasional.
b. Deterrence. Dilakukan tindakan atau upaya perlindungan dan keamanan oleh masyarakat dan sektor swasta untuk mencegah kegiatan teroris.
c. Reaction. Melaksanakan operasi counter terrorism, menjawab kegiatan terorisme yang besar dan khusus.
d. Prediction. Melakukan tindakan intellegence dan counterintelligence secara terus menerus mendukung ke-3 metoda lainnya.

Terorisme di Indonesia
Bom di Mega Kuningan 17 Juli 2009 kemarin hanyalah salah satu dari teror-teror yang mengancam bangsa Indonesia. Dengan fakta kemajemukan religi dan budaya, kondisi geografis kepulauan, dan sistem pemerintahan yang ada sekarang, sebenarnya bangsa Indonesia berada dalam ancaman-ancaman terorisme yang luar biasa. Sebelum memahami potensi-potensi teror di Indonesia, maka perlu ada pembagian latar belakang terorisme yang terjadi di Indonesia.
Pertama adalah terorisme yang dilatarbelakangi oleh motifasi politik. Gerakan seperatisme di berbagai daerah yang terjadi selama ini adalah salah satu terorisme politis. Mereka melakukan aksi teror dan perlawanan kepada pemerintah dengan tujuan memperoleh kemerdekaan dan lepas dari NKRI. Teror-teror politis dalam skala lebih kecil terjadi ketika Pemilu, kampanya secara tidak sehat sebenarnya adalah bagian dari terorisme politis.
Kedua adalah terorisme ideologis. Teror ini dilakukan secara terbatas oleh kaum dengan padangan ideologis tertentu. Cara-cara radikal mereka dengan bom bunuh diri yang menimbulkan korban baik jiwa maupun materi yang sangat besar adalah bentuk terorisme dengan tujuan untuk memaksakan ideologi yang mereka anut. Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut :
Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.
Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan. Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.
Terorisme yang dilakukan oleh kaum kapitalis ketika memaksakan bentuk atau pola bisnis dan investasi kepada masyarakat. Contoh nyata adalah pembebasan lahan masyarakat yang digunakan untuk perkebunan atau pertambangan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak elegan. Terorisme bentuk ini tidak selamanya dengan kekerasan tetapi kadang dengan bentuk teror sosial, misalnya dengan pembatasan akses masyarakat.
Teror yang dilakukan oleh masyarakat kepada dunia usaha, beberapa demonstrasi oleh masyarakat yang ditunggangi oleh provokator terjadi secara anarkis dan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Terlepas dari siapa yang salah, tetapi budaya kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat adalah suatu bentuk teror yang mereka pelajari dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi.
Bagaimanakah cara mengatasi atau mengantisipasi potensi terorisme-terorisme di atas? Pemerintah adalah penaggung jawab utama untuk mengantisapasi terorisme di negara Indonesia. Lembaga lembaga seperti BIN, POLRI, TNI bahkan sampai pada tingkat RT/RW harus bahu-membahu mencegah terjadinya terorisme dengan memberikan pengawasan kepada orang asing atau orang yang dicurigai akan melakukan teror.
Secara khusus pemerintah perlu memberikan kebijkan-kebijakan tertentu agar potensi terorisme bisa ditanggulangi, yaitu :
a. Meninjau kembali kebijakan otonomi dan desentralisasi yang dilakukan pemerintah terhadap daerah-daerah terutama daerah pedalaman.
b. Memberikan perhatian lebih khusus kepada daerah-daerah perbatasan dan terpencil dengan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui percepatan infrastruktur, keseharan dan pendidikan.
c. Melakukan pola keamanan secara terpadu, antar lembaga dan masyarakat sehingga tercipta sistem keamanan yang bisa mencegah terorisme terulang lagi.
Terorisme tidak akan berhenti selama keinginan para terorisme belum terpenuhi, jika pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan terorisme, maka yang bisa dilakukan adalah merubah paradigma keinginan, kebutuhan, pandangan terhadap ideologi, dan memperkuat paradigma bahwa kemajemukan itu adalah indah.

Antara Dampak Terorisme VS Dampak Kekerasan Oleh Negara
Dampak kejahatan terorisme di Indonesia bila diukur menggunakan data statistik yang berbentuk kerugian material, hilangnya nyawa dan korban terluka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan akibat operasi DOM di Aceh, TimTim dan Papua yang mencapai puluhan ribu jiwa.
Dampak terorisme masih kalah dengan akibat operasi petrus pada tahun 1982-1984 yang menelan puluhan ribu nyawa. Dampak terorisme masih kalah dengan akibat konflik horizontal di Ambon, Maluku dan Poso serta Sampit yang telah menyebabkan hilangnya ratusan ribu nyawa, korban luka permanen dan rusaknya harta benda yang bernilai trilliunan rupiah. Akibat yang ditimbulkan oleh aksi operasi terorisme intelejen melalui bom masih kalah dengan akibat kekejaman LB Murdani yang membantai 600 massa muslim di Priok. Dampak terorisme masih kalah dengan akibat keganasan Hendropriyono saat menjadi jagal di Talangsari Lampung hingga bersimbah darah. Dampak terorisme masih kalah dengan akibat kekejaman Westerling di Sulawesi Utara. Dampak terorisme masih kalah jauh dengan akibat kerusuhan Mei 1998. Dampak terorisme masih kalah dengan akibat pembantaian massa Partai Komunis Indonesia oleh Pemuda Anshor yang bekerjasama dengan Kodam dan Kodim pada tahun 1965-1966 yang menelan korban lebih dari 1 juta jiwa.
Korban jiwa dan yang terluka akibat terror bom selama kurun waktu 1999-2004 tidak sampai 1000 jiwa, sementara korban keganasan operasi militer maupun salah tembak oleh Polri sepanjang puluhan tahun telah mencapai ratusan ribu nyawa. Korban harta benda dan kerusakan material akibat terror bom hingga hari ini belum mencapai trilliunan rupiah, sementara kerugian material akibat korupsi, penjualan kekayaan Negara baik di darat maupun yang di laut yang di backup oleh para jenderal militer dan diselamatkan Polri telah mengakibatkan kebangkrutan bangsa ini hingga sampai tujuh turunan. Kalkulasi dampak kerugian akibat terorisme, baik secara material, moral, politik dan sosial, dibanding dengan dampak poleksosbud akibat DOM, korupsi penyalahgunaan wewenang para pejabat Negara hal itu tidak ada satu persennya.
Dampak sosial, politik, moral, fisik dan material yang diderita masyarakat akibat korban kejahatan dan pelanggaran HAM serta korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah, oleh pejabat TNI-POLRI, oleh akibat kolusi pejabat pemerintah dengan konglomerat, bila dibandingkan dengan akibat terorisme bom, boleh jadi bisa berbanding 1000:1. Namun para penjahat dan pelanggar HAM serta para koruptor di negeri ini tokh masih tetap bisa dimaklumi, bahkan tetap dihormati. Dosa dan tindak kejahatan mereka tidak dianggap lebih besar atau dianggap sama dengan tindak kejahatan terorisme. Aparatus hukum Indonesia dan mungkin juga dunia, telah terserang virus morality, sehingga mudah terjebak dalam sikap dan kebijakan yang tidak proporsional.

Jaringan Teroris Di Indonesia Harus Diwaspadai
Mantan anggota Komisi I DPR RI, Andreas H Pareira, di Jakarta, Sabtu [08/05] mengatakan, keberhasilan Polri menangkap 12 orang yang diindikasi terlibat jaringan teroris, membuktikan bahwa kegiatan terorisme masih hidup dan harus terus diwaspadai. “Terorisme dan jaringannya memang belum mati hanya karena pentolan-pentolannya, seperti Nurdin M Top sudah tewas. Jaringan-jaringan ini eksis, patah tumbuh hilang berganti,” kata doktor politik dan masalah-masalah internasional ini kepada ANTARA. Ia mengatakan ini menanggapi pernyataan Mabes Polri tentang keberhasilan menangkap 12 warga yang diindikasi terlibat terorisme, yakni tiga di kawasan Setu, Bekasi, lalu tujuh di Pasar Minggu, satu di Petamburan serta satu lagi di sebuah hotel di Jakarta Pusat.
“Tetapi saya pribadi mengapresiasi kepada Polri, khususnya ‘desk’ antiterorisme dan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang bekerja cekatan dan profesional membongkar jaringan teroris,” ujar Andreas Pareira yang kini juga Ketua DPP PDI Perjuangan bidang pertahanan, keamanan dan hubungan internasional. Dengan keberhasilan ini, ia mengharapkan semua pihak tidak mengendorkan kesiagaan menghadapi berbagai ancaman aksi teror.
“Karena itu, di samping operasi pembasmian, pemerintah harus lebih keras bekerja untuk mencegah munculnya kader-kader baru teroris, dengan pendekatan edukasi antiterorisme langsung di pusat-pusat yang menjadi potensi munculnya kader teroris baru,” kata Andreas Pareira. Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (lex specialis derogat lex generalis). Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)].
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.






KESIMPULAN:
1. Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang didorong motivasi politik, yang tindakannya diarahkan kepada sasaran noncombatant, untuk mencapai tujuan politik (menghancurkan kebebasan dan demokrasi), tujuan keagamaan atau tujuan idiologi dengan cara penciptaan rasa ketakutan atau kekerasan. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban.
2. Teroris dengan jeli memanfaatkan kemajuan pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir di bidang komunikasi, transportasi, informasi, persenjataan dan bahan peledak termasuk pemanfaatan potensi NBC. Keadaan ini menjadikan ancaman terorisme akan semakin meningkat dampaknya di masa yang akan datang.
3. Upaya pengangulangan terorisme baik yang berskala lokal maupun internasional/global mempersyaratkan pemerintah dan masyarakat melakukan sinergi upaya secara komperhensif dengan pendekatan multi-dimensial termasuk di dalamnya kerjasama dan koordinasi internasional, menghormati hukum internasional, serta melaksanakan resolusi DK PBB dan menghormati konvensi PBB untuk melawan terorisme.
4. Penguasaan bidang intelijen, penegakkan hukum, pembuatan kebijakan pemerintah yang populer, sikap pemerintah yang tegas, adil dan bijaksana merupakan faktor dominan dalam mendukung keberhasilan kegiatan pencegahan terorisme. The prefered method of reducing the incidenceof terrorism iswithproactive, rather thanreactive measures.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar